Ustadz Ahmad Nawawi Terharu Dengan Kehadiran Warga Binaan di Lapas Amuntai

Pendirian dan Perkembangan Pondok Pesantren At-Taubah di Lapas

Pondok Pesantren Terpadu At-Taubah (LPK PPTA) berada di lingkungan Lapas Kelas IIB Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan. Lembaga ini hadir sebagai wadah pembinaan spiritual yang sistematis, terarah, dan berkelanjutan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Pendekatan khas pesantren yang humanis menjadi ciri khas dari program yang diberikan.

Perintis Ponpes At-Taubah adalah HM Arsyad SSos MH, yang menjabat sebagai Kalapas Kelas IIB Amuntai periode 2016-2018. Selain itu, ustadz Dr H Ahmad Nawawi Abdurrauf SAg MMPd CMed dari PAIF Kementerian Agama HSU juga turut serta dalam pendirian. Ustadz Drs HM Hasbi Salim MPd, staf pendidik Diknas PK HSU, juga menjadi salah satu perintisnya.

Seiring waktu dan pergantian Kalapas, ustadz H Ahmad Nawawi Abdurrauf tetap mengabdikan diri sebagai pengasuh Ponpes At-Taubah hingga saat ini. Sementara, HM Arsyad telah purnatugas dan ustadz HM Hasbi Salim fokus pengabdian di Pondok Pesantren Rakha Amuntai.

Dalam perjalanannya, unsur pimpinan dan pengurus LPK PPTA telah mengalami beberapa kali pergantian. Dasar hukum terakhir adalah SK Kalapas Kelas IIB Amuntai Nomor: W.19.PAS.PAS 4-1135/Kp.04.01/Tahun 2022 tanggal 03 Oktober 2022. Ponpes At-Taubah telah berbadan hukum melalui Akta Notaris Drs Hery B Marwoto SH MKn, Nomor 24 Tahun 2018. Selain itu, SK Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: C-472.HT.03.01-Th.2006 juga menjadi dasar legalitas lembaga tersebut.

Hal ini terwujud berkat dukungan Kalapas Kelas IIB Amuntai periode 2018, HM Yahya SH MAP. Dukungan ini didukung oleh rangkaian konsultasi, koordinasi, dan silaturahmi dengan berbagai pihak, seperti Kementerian Agama HSU, Pemkab HSU, TP-PKK, tokoh masyarakat, dan organisasi keagamaan. Legalitas ini menjadi fondasi penting dalam penguatan administrasi serta pengembangan kerja sama kelembagaan.

Tantangan dalam Pembinaan Warga Binaan

Pendirian Pondok Pesantren At-Taubah tidak luput dari berbagai tantangan. Salah satu masalah utama adalah internalisasi nilai pesantren yang belum merata. Tidak semua warga binaan mampu menginternalisasi nilai-nilai kepesantrenan seperti disiplin, keikhlasan, adab, dan konsistensi ibadah secara utuh. Sebagian masih berada pada tahap rutinitas formal, belum sampai pada perubahan sikap dan perilaku yang berkelanjutan.

Masalah lainnya adalah perbedaan motivasi dan kesiapan mental warga binaan. Ada yang benar-benar ingin hijrah dan memperbaiki diri, sementara ada yang ikut karena faktor lingkungan atau penilaian pembinaan. Tantangannya adalah menyatukan motivasi agar pembinaan tidak hanya bersifat simbolik, tetapi menyentuh kesadaran batin.

Latar belakang keagamaan yang sangat heterogen juga menjadi tantangan. Sebagian warga binaan masih lemah dalam dasar-dasar agama, terutama baca Al-Qur’an dan ibadah dasar. Kurikulum pesantren harus menyesuaikan berbagai level kemampuan dalam satu waktu yang terbatas.

Kondisi psikologis dan beban masa lalu juga menjadi tantangan. Rasa bersalah, penyesalan, tekanan batin, serta kecemasan akan masa depan masih kuat dirasakan. Pembinaan keagamaan belum selalu terintegrasi dengan pendampingan psikologis, padahal kondisi mental sangat mempengaruhi keberhasilan pembinaan spiritual.

Selain itu, konsistensi ibadah di luar jam program menjadi tantangan. Selama kegiatan pesantren berjalan, disiplin relatif terjaga. Namun, tantangan muncul saat di luar jam pembinaan setelah keluar dari program atau pasca-bebas. Problemnya menjaga istiqamah tanpa pengawasan ketat.

Keterbatasan sarana pendukung kepesantrenan juga menjadi kendala. Meskipun sudah ada sistem pesantren, masih mungkin terdapat keterbatasan ruang belajar yang kondusif, kitab, modul, atau bahan ajar bertingkat, serta waktu belajar yang ideal karena padatnya agenda lapas. Dampaknya proses pembinaan belum optimal secara kualitas.

Regenerasi dan keteladanan internal juga menjadi tantangan. Idealnya, warga binaan senior atau alumni program pesantren dapat menjadi role model bagi yang baru. Namun, belum semua lulusan siap menjadi teladan. Pergantian warga binaan cukup cepat, sehingga transisi pasca pembebasan menjadi problem krusial. Minimnya jaringan lanjutan dengan pesantren/masjid di luar lapas hingga memilii tantangan menjaga kesinambungan nilai pesantren agar tidak luntur saat kembali ke masyarakat.

Strategi Meningkatkan Penerimaan Program Pembinaan

Untuk meningkatkan penerimaan program pembinaan, beberapa strategi dilakukan. Pertama, pendekatan humanis dan non-menghakimi. Warga binaan akan lebih terbuka jika mereka merasa dihargai sebagai manusia dan tidak dihakimi atas masa lalu. Prinsip utama pembina hadir sebagai pendamping, bukan hanya pengajar.

Kedua, tumbuhkan kesadaran, bukan paksaan. Program sebaiknya diawali dengan dialog tentang makna hidup, harapan, dan masa depan serta refleksi diri. Bukan ancaman atau kewajiban administratif.

Ketiga, sesuaikan materi dengan kondisi nyata warga binaan. Materi pembinaan harus kontekstual dengan masalah mereka (keluarga, penyesalan, kontrol emosi, harapan hidup) dan bertahap sesuai kemampuan (tidak langsung berat).

Keempat, ciptakan lingkungan pembinaan yang aman dan nyaman. Warga binaan lebih mudah menerima program jika suasana pembinaan kondusif dan tidak ada rasa takut, malu, atau tekanan sosial.

Kelima, libatkan warga binaan sebagai subjek, bukan objek. Berikan ruang bagi warga binaan untuk menjadi mentor sebaya (peer educator), terlibat dalam pengelolaan kegiatan dan berbagi pengalaman hijrah atau perubahan.

Keenam, berikan keteladanan nyata. Pembina dan petugas yang konsisten, jujur, disiplin, dan berakhlak baik akan jauh lebih didengar daripada sekadar ceramah. Keteladanan adalah metode pembinaan paling kuat.

Ketujuh, apresiasi proses, bukan hanya hasil. Pengakuan sederhana seperti pujian tulus, sertifikat pembinaan, dan kepercayaan lebih besar bisa meningkatkan rasa memiliki terhadap program.

Kedelapan, integrasikan pembinaan dengan harapan masa depan warga binaan. Jika mereka melihat manfaat nyata, seperti bekal moral dan spiritual untuk kembali ke masyarakat, dukungan jejaring keagamaan pasca-bebas, dan rasa percaya diri untuk memulai hidup baru, maka program akan lebih diterima.

Pengalaman Menarik dalam Membina Warga Binaan

Beberapa pengalaman menarik dan inspiratif dalam membina warga binaan. Pertama, perubahan sikap yang terlihat nyata. Satu pengalaman paling mengesankan adalah ketika warga binaan yang awalnya acuh terhadap kegiatan keagamaan, sulit diatur, dan kurang percaya diri perlahan menunjukkan perubahan seperti lebih sopan dalam bertutur kata, disiplin mengikuti salat berjemaah, dan mengaji.

Kedua, hijrah di balik jeruji. Tidak sedikit warga binaan yang mengaku baru pertama kali belajar membaca Al-Qur’an dengan benar di lapas. Baru memahami makna salat dan taubat secara mendalam. Ada momen haru ketika warga binaan menyampaikan, “Justru di tempat inilah saya merasa paling dekat dengan Tuhan.”

Ketiga, munculnya santri teladan dari warga binaan. Pengalaman menarik lainnya adalah ketika beberapa warga binaan menjadi lebih cepat memahami materi, rajin beribadah, dan mampu membantu membina warga binaan lain. Mereka kemudian berperan sebagai imam salat, tutor mengaji, dan penggerak kegiatan keagamaan.

Keempat, terbangunnya ukhuwah dan solidaritas. Program pesantren menciptakan suasana kebersamaan yang kuat. Warga binaan saling menyemangati, perbedaan latar belakang melebur dalam aktivitas ibadah, dan konflik antarwarga binaan cenderung menurun.

Kelima, ketekunan di tengah keterbatasan. Meski dengan keterbatasan fasilitas dan waktu, banyak warga binaan tetap antusias mengikuti pembelajaran, datang lebih awal, dan bertahan mengikuti program hingga selesai.

Keenam, pengakuan jujur tentang masa lalu. Dalam suasana pembinaan yang aman, ada warga binaan yang berani mengakui kesalahan masa lalu, menyampaikan penyesalan, dan meminta bimbingan untuk memperbaiki diri.

Ketujuh, harapan baru menjelang bebas. Pengalaman yang sangat menyentuh adalah ketika warga binaan yang mendekati masa bebas menyampaikan keinginan melanjutkan belajar agama di luar, tekad memperbaiki hubungan dengan keluarga, dan harapan menjadi pribadi yang lebih bermanfaat.

0 Response to "Ustadz Ahmad Nawawi Terharu Dengan Kehadiran Warga Binaan di Lapas Amuntai"

Posting Komentar