Kritik: Ironi Penindasan di Kalibata

Kritik: Ironi Penindasan di Kalibata

Ketika Penegak Hukum Menjadi Pelanggar

Ketika warga masih mencoba memahami berbagai paradoks kehidupan bernegara, muncul lagi satu babak baru yang seolah menertawakan logika hukum kita. Kejadian ini menjadi pertanyaan besar bagi seluruh masyarakat: di negara macam apa debt collector yang bekerja sesuai prosedur justru menjadi korban kekerasan brutal, sementara pelakunya adalah mereka yang seharusnya menjaga ketertiban dan melindungi warga negara?

Peristiwa di Taman Makam Pahlawan Kalibata

Pada Kamis sore, 11 Desember 2025, di depan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, dua debt collector bernama NAT dan MET menghentikan seorang pengendara sepeda motor yang memiliki tunggakan kredit. Tindakan yang seharusnya prosedural ini berujung tragis: kedua debt collector dikeroyok hingga tewas oleh enam anggota Polri dari Satuan Pelayanan Markas Mabes Polri.

Pengeroyokan dipicu karena kedua matel (mata elang) menghentikan motor yang dikendarai anggota kepolisian. Lima orang lain yang berada di dalam mobil di belakangnya kemudian turun dan bersama-sama melakukan pengeroyokan. MET tewas di lokasi. NAT sempat dilarikan ke RSUD Budhi Asih Jakarta Timur, namun nyawanya tidak tertolong.

Dewasa atau Sekadar Berseragam?

Kejadian di Kalibata ini membuka luka lama yang tak kunjung sembuh yakni problem kedewasaan dalam institusi kepolisian kita. Kedewasaan bukan soal usia atau pangkat, melainkan kemampuan mengelola emosi, menerima konsekuensi tindakan sendiri dan memahami batas-batas kewenangan. Seorang polisi yang mengendarai kendaraan bermasalah kredit seharusnya menyelesaikannya secara hukum atau bernegosiasi secara beradab, bukan merespons dengan kekerasan fisik.

Lebih parah lagi, yang melakukan pengeroyokan bukan hanya satu orang, melainkan enam personel yang bergerak secara berkelompok dan terkoordinasi. Ini menunjukkan mentalitas "kawanan" yang sangat berbahaya: solidaritas buta yang tidak lagi mempedulikan benar atau salah, legal atau ilegal.

Hukum untuk Siapa?

Kasus ini kembali mempertanyakan esensi penegakan hukum di Indonesia. Apakah hukum benar-benar berlaku setara bagi semua orang, ataukah ada kelas-kelas tertentu yang merasa kebal? Ketika aparat penegak hukum sendiri menjadi pelanggar, siapa yang akan menegakkan hukum atas mereka?

Polri telah bergerak cepat. Enam anggota Polri—JLA, RGW, IAB, IAM, BN, dan AM—ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 170 ayat 3 KUHP tentang pengeroyokan yang mengakibatkan kematian. Divisi Propam Polri juga telah menjadwalkan sidang Komisi Kode Etik Polri pada 17 Desember 2025. Ini langkah positif yang patut diapresiasi.

Namun, pertanyaannya bukan hanya tentang proses hukum, melainkan tentang kultur yang memungkinkan kejadian seperti ini terjadi. Bagaimana mungkin enam anggota Polri dengan seragam dan lencana yang sama-sama mereka kenakan, tanpa ragu-ragu, secara kolektif melakukan tindakan main hakim sendiri di tempat umum?

Solusi: Reformasi dari Dalam

Pertama, proses hukum harus berjalan secara transparan dan tegas tanpa tebang pilih. Enam tersangka yang kini menjalani penyidikan oleh Polda Metro Jaya dan dibackup Bareskrim Polri harus diproses dengan adil. Tidak boleh ada rekayasa, tidak boleh ada peringanan hukuman karena "solidaritas korps".

Kedua, perlu ada mekanisme pendidikan dan pembinaan mental bagi seluruh anggota kepolisian tentang etika profesi, pengendalian emosi dan literasi hukum dasar. Kasus Kalibata menunjukkan bahwa masalah pribadi (seperti tunggakan kredit) tidak boleh diselesaikan dengan kekerasan, apalagi dengan melibatkan kekuatan institusi.

Ketiga, perlu ada sistem pengawasan internal yang lebih kuat dan independen. Propam (Provos dan Paminal) harus diperkuat dengan kewenangan yang jelas dan bebas dari intervensi internal. Masyarakat juga harus diberi akses untuk melaporkan pelanggaran yang dilakukan anggota polisi tanpa takut dikriminalisasi balik.

Keempat, sanksi tegas dan konsisten. Tidak boleh ada toleransi untuk tindakan kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian, apalagi yang dilakukan secara berkelompok dan terencana. Sanksi administratif, sanksi etik, hingga pemecatan harus menjadi opsi yang benar-benar diterapkan.

Keadilan yang Sesungguhnya

Keadilan bukan hanya soal menghukum pelaku. Keadilan juga berarti memulihkan hak-hak korban. Kedua debt collector yang menjadi korban pengeroyokan berhak mendapatkan perlindungan hukum, kompensasi atas luka fisik dan trauma psikologis, serta jaminan bahwa kasus mereka tidak akan ditutup-tutupi atau diselesaikan dengan damai yang tidak adil.

Lebih dari itu, kasus ini harus menjadi momentum refleksi bagi institusi kepolisian. Apakah mereka ingin dikenang sebagai pelindung rakyat atau sebagai kelompok preman berseragam? Pilihan ada di tangan mereka sendiri, tetapi waktu untuk membuktikan keseriusan reformasi internal sudah sangat mendesak.

Masyarakat tidak meminta kesempurnaan dari institusi kepolisian. Yang masyarakat minta adalah kejujuran, akuntabilitas, dan komitmen untuk menegakkan hukum dengan adil. Ketika seorang polisi melakukan kesalahan, tindakan paling bermartabat yang bisa dilakukan institusi adalah mengakuinya, memproses secara hukum, dan memastikan hal serupa tidak terulang.

Jika tidak, maka kita semua sedang menyaksikan kemunduran peradaban. Mereka yang seharusnya melindungi justru menjadi ancaman, dan mereka yang seharusnya menegakkan hukum justru menjadi pesakitan dalam ironi terbesar negara hukum.

0 Response to "Kritik: Ironi Penindasan di Kalibata"

Posting Komentar