
Pendahuluan
Sejak dimulainya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dalam sistem pelayanan kesehatan. Tujuan utama dari program ini adalah untuk memastikan bahwa semua penduduk memiliki akses yang adil dan berkualitas tinggi ke layanan kesehatan tanpa memandang status ekonomi mereka. Namun, meskipun secara teoritis dijamin oleh BPJS, banyak peserta tetap mengeluarkan biaya pribadi atau out-of-pocket (OOP) saat mendapatkan layanan kesehatan. Fenomena OOP ini menjadi masalah penting karena menunjukkan seberapa efektif dan adil sistem pembiayaan kesehatan.
Pengertian Out-of-Pocket (OOP)
Out-of-Pocket (OOP) merujuk pada semua pengeluaran langsung yang dilakukan individu atau rumah tangga untuk mendapatkan layanan kesehatan tanpa kompensasi dari jaminan kesehatan publik atau swasta. Termasuk dalamnya biaya obat yang tidak tercover oleh BPJS, transportasi ke fasilitas kesehatan, pembayaran dokter yang tidak ditanggung oleh sistem rujukan, dan biaya administrasi yang tidak tercover. Dalam teori ekonomi kesehatan, OOP berfungsi sebagai indikator derajat proteksi finansial sistem kesehatan. Di negara-negara dengan sistem jaminan kesehatan yang kuat, OOP biasanya rendah, sementara di negara-negara berkembang, OOP sering mendominasi, yang menunjukkan sistem asuransi yang lemah dan keterbatasan akses ke layanan.
Kondisi Empiris OOP dalam Sistem BPJS Kesehatan
Sejak diluncurkan, BPJS Kesehatan telah meningkatkan akses layanan kesehatan secara signifikan. Pada tahun 2024, tingkat kepesertaan JKN akan mencapai lebih dari 90 persen dari populasi. Namun, ada perbedaan yang signifikan dalam hal pembiayaan. Studi seperti Prawiroharjo (2020) dan Kusrini dkk. (2022) menunjukkan bahwa sekitar 40–60 % peserta JKN mengeluarkan OOP saat menggunakan layanan kesehatan, terutama untuk pengobatan rawat jalan dan pembelian obat resep luar. Proporsi pengeluaran OOP terhadap total belanja kesehatan di Indonesia tetap berkisar antara 30 dan 35 persen dari tahun 2018 hingga 2023, jauh di atas standar WHO yang idealnya hanya 20 persen. Hal ini menjadi paradoks bagi sistem jaminan sosial yang dirancang untuk mencegah pengeluaran kesehatan yang mengerikan yang menyebabkan kemiskinan rumah tangga.
Faktor-Faktor Penyebab OOP dalam Sistem BPJS
-
Keterbatasan Manfaat Jaminan (Benefit Package)
Meskipun BPJS Kesehatan mencakup layanan preventif, kuratif, rehabilitatif, dan promotif, banyak obat, alat kesehatan, atau prosedur yang tidak tercantum dalam daftar tanggungan. Pasien harus membayar sendiri jika mereka membutuhkan obat non-Fornas atau tindakan khusus. -
Ketidaksesuaian Tarif INA-CBG's dengan Biaya Aktual
Sistem Pembayaran Rumah Sakit oleh BPJS Kesehatan menggunakan mekanisme Grup Berbasis Kasus Indonesia (INA-CBG's). Tarif INA-CBG's dinilai tidak mencukupi biaya aktual layanan, sehingga rumah sakit meminta pasien untuk membayar selisih biaya, terutama di fasilitas swasta. -
Masalah Distribusi dan Ketersediaan Obat
Karena masalah rantai pasokan, rumah sakit atau apotek kehabisan stok obat BPJS, pasien harus membeli obat dengan harga pasar. Kondisi ini sering terjadi di daerah terpencil dan di rumah sakit rujukan tingkat pertama. -
Peserta tidak memahami alur layanan dan hak mereka
Banyak peserta BPJS tidak tahu tentang mekanisme rujukan berjenjang, kriteria layanan yang ditanggung, dan bagaimana mengajukan klaim. Ketidakpahaman ini menyebabkan pasien mengakses layanan yang tidak tercover, yang menyebabkan OOP. -
Biaya Layanan Non-Medis
BPJS hanya menanggung aspek medis, sementara transportasi, akomodasi, asuransi tambahan, dan kebutuhan lainnya ditanggung secara pribadi oleh peserta dan keluarga mereka.
Dampak Sosial-Ekonomi OOP
-
Beban Finansial Rumah Tangga
Berdasarkan Susenas, sekitar 10 % rumah tangga di Indonesia mengalami kesulitan finansial karena pengeluaran kesehatan, bahkan tanpa mengorbankan kebutuhan dasar seperti makanan dan pendidikan. -
Ketidakefisienan Sistem Jaminan
OOP yang tinggi menunjukkan bahwa sistem belum optimal dalam melindungi peserta dari risiko keuangan. -
Kesenjangan Akses
OOP lebih sering terjadi pada kelompok miskin, yang menyebabkan ketidaksetaraan dalam akses layanan kesehatan. -
Menurunnya Kepuasan Peserta
Ketika peserta harus membayar biaya tambahan, BPJS lebih dipandang negatif.
Perspektif Etika dan Keberlanjutan Sistem
OOP yang tinggi bertentangan dengan dasar filosofis BPJS Kesehatan yang mengutamakan keadilan pembiayaan kesehatan dan solidaritas. Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, pemerintah secara etika bertanggung jawab untuk melindungi warganya dari risiko keuangan yang disebabkan oleh sakit. Kegagalan dalam mengendalikan OOP berarti belum memenuhi amanat tersebut sepenuhnya. Di sisi keberlanjutan finansial, BPJS harus memilih antara mempertahankan solvabilitas keuangan dan meningkatkan cakupan manfaat. Sementara kenaikan iuran dapat mengurangi kepatuhan peserta, pembatasan manfaat justru meningkatkan OOP.
Kebijakan dan Alternatif Solusi
Berikut ini adalah beberapa solusi strategis yang dapat diterapkan untuk mengurangi OOP dan meningkatkan efektivitas BPJS Kesehatan:
-
Perluasan Cakupan Manfaat Berbasis Penilaian Teknologi Kesehatan (HTA)
Pemerintah harus memastikan bahwa daftar obat dan prosedur yang ditanggung sesuai dengan kebutuhan masyarakat melalui evaluasi berbasis bukti ilmiah. -
Subsidi Silang Progresif
Pembiayaan kesehatan yang lebih adil dapat dijamin melalui penerapan subsidi silang yang lebih adil yang didasarkan pada kemampuan ekonomi peserta. -
Digitalisasi Sistem dan Transparansi
Integrasi digital untuk transparansi pengelolaan klaim, edukasi peserta melalui aplikasi mobile, dan pengawasan biaya layanan secara real-time dapat meningkatkan pemahaman peserta dan mengurangi OOP akibat asimetri informasi. -
Transparansi Biaya Rumah Sakit
Rumah sakit harus mempublikasikan detail biaya layanan, obat, dan bahan medis yang tidak ditanggung BPJS untuk mengurangi manipulasi biaya dan meningkatkan akuntabilitas publik. -
Penguatan Layanan Prime
Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) harus diperkuat agar pasien tidak perlu langsung ke rumah sakit. Semakin fungsional FKTP, semakin rendah risiko OOP akibat rujukan tidak sah.
Tantangan dan Rekomendasi Masa Depan BPJS Kesehatan
Dalam sepuluh tahun mendatang, tekanan demografis (penuaan penduduk), epidemiologis (peningkatan penyakit kronis), dan ekonomi (fluktuasi iuran dan defisit sistem) akan menjadi masalah besar.
-
Keseimbangan Pendanaan
Agar sistem tidak defisit, pemerintah harus memastikan bahwa subsidi fiskal cukup. Penggabungan pajak kesehatan dan cukai tembakau dapat menjadi alternatif. -
Efisiensi Penggunaan Dana
Kebocoran biaya dapat dikurangi dengan pengaturan klaim yang lebih baik dan pengawasan moral hazard oleh penyedia dan peserta. -
Pemberdayaan Masyarakat
Teknologi digital dan pendidikan kesehatan harus meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban mereka sebagai peserta.
Menuju Sistem Pembiayaan yang Lebih Adil
Secara normatif, tujuan utama BPJS Kesehatan adalah menghilangkan hambatan finansial yang menghalangi orang untuk mendapatkan layanan kesehatan. Namun, kenyataannya menunjukkan bahwa pengeluaran di luar anggaran terus menjadi "bayangan gelap" yang mengganggu keberhasilan program JKN. Selama biaya yang tidak ditanggung persisten dan kesulitan mendapatkan obat esensial, visi universal perawatan kesehatan belum sepenuhnya tercapai. Terlepas dari BPJS, solusi untuk masalah ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Pemerintah berfungsi sebagai regulator, rumah sakit berfungsi sebagai penyedia, masyarakat berpartisipasi secara aktif, dan akademisi berfungsi sebagai peneliti. Indonesia memiliki kemampuan untuk secara bertahap menurunkan jumlah organisasi non-pemerintah (OOP) dan memperkuat perlindungan keuangan bagi seluruh warganya melalui penerapan pendekatan sistemik dan komitmen terhadap prinsip keadilan sosial.
0 Response to "Tantangan dan Dampak Biaya Langsung di Sistem BPJS Kesehatan Indonesia"
Posting Komentar