Paradoks Danantara: APBN Rugi, BUMN Menang

Paradoks Danantara: APBN Boleh Buntung Asalkan BUMN Untung

Bank Dunia dalam laporan Indonesia Economic Prospects 2025 menegaskan bahwa rasio penerimaan negara Indonesia terhadap PDB mengalami penurunan signifikan. Hingga Oktober 2025, rasio tersebut berada di kisaran 8,9 persen dari PDB, turun dari sekitar 10,2 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Bank Dunia mengidentifikasi tiga penyebab utama, yaitu melemahnya harga komoditas, menurunnya penerimaan pajak neto akibat percepatan restitusi, serta pengalihan penerimaan dividen BUMN ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Nilai dividen BUMN yang tidak lagi masuk langsung ke kas negara diperkirakan mencapai sekitar 0,3 persen dari PDB. Angka ini terlihat kecil, tetapi dalam konteks fiskal, ia cukup untuk memperlebar defisit dan mempersempit ruang belanja publik. Dari sinilah paradoks Danantara mulai terlihat.

Jika dikonversi ke angka nominal, 0,3 persen PDB setara lebih dari Rp 500 triliun dalam struktur ekonomi Indonesia saat ini. Kehilangan arus kas sebesar ini bukan sekadar persoalan statistik, melainkan menyentuh kemampuan riil negara membiayai kebutuhan dasar. Bank Dunia menilai bahwa penurunan rasio penerimaan ini berpotensi mengurangi ruang fiskal pemerintah di tengah meningkatnya kebutuhan belanja sosial. Dengan kata lain, alarm yang dibunyikan Bank Dunia bukan soal niat investasi jangka panjang, tetapi soal ketahanan fiskal jangka pendek. Negara diingatkan agar tidak terjebak pada optimisme aset tanpa kesiapan kas. Inilah konteks awal yang sering luput dalam perdebatan publik.

Danantara dan Perubahan Arsitektur Fiskal Negara

Danantara dibentuk sebagai badan pengelola investasi negara dengan mandat mengonsolidasikan aset strategis dan dividen BUMN untuk kepentingan investasi jangka panjang. Modalnya berasal dari negara, baik melalui penyertaan modal negara maupun inbreng saham BUMN bernilai ratusan hingga ribuan triliun rupiah. Secara formal, negara tetap menjadi pemilik terakhir atas aset tersebut. Namun secara fiskal, Danantara tidak berada di dalam siklus APBN dan tidak berada di bawah kendali langsung Menteri Keuangan. Perubahan ini bukan sekadar teknis, melainkan pergeseran paradigma pengelolaan keuangan negara. Negara kini memisahkan antara kas publik dan kas investasi, seolah keduanya tidak saling bergantung.

Dalam praktik fiskal modern, pemisahan ini dikenal sebagai off-budget financing. Skema ini lazim digunakan untuk mempercepat investasi, tetapi selalu mengandung risiko berkurangnya transparansi fiskal. Ketika aset dan arus pendapatan dipindahkan ke luar APBN, pengawasan parlementer dan publik otomatis melemah. Negara menjadi investor yang agresif, tetapi sekaligus mengurangi kendali demokratis atas keuangan publik. Inilah titik kritis dari perubahan arsitektur fiskal tersebut. Tanpa pengaman kelembagaan yang kuat, pemisahan ini bisa menciptakan jurang antara kekayaan negara dan kesejahteraan rakyat.

APBN yang Kehilangan Nafas Likuiditas

APBN bekerja bukan dengan logika valuasi aset, melainkan dengan likuiditas kas. Gaji guru, subsidi pangan, bantuan sosial, dan layanan kesehatan tidak dibayar dengan portofolio investasi, tetapi dengan uang tunai yang tersedia hari ini. Ketika dividen BUMN dialihkan ke Danantara, APBN kehilangan salah satu sumber likuiditas yang selama ini relatif stabil. Akibatnya, ketika penerimaan pajak melemah, negara tidak memiliki bantalan tambahan selain utang. Di sinilah muncul situasi anomali: aset negara bertambah, tetapi kas negara menyempit. Negara terlihat kaya di neraca, tetapi lapar di dapur fiskal.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa belanja wajib seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial menyerap lebih dari 40 persen APBN. Belanja jenis ini tidak elastis dan tidak bisa ditunda tanpa konsekuensi sosial. Ketika penerimaan menyusut, tekanan langsung terasa pada sektor produktif dan sosial. Pemerintah terpaksa menunda proyek, memangkas subsidi, atau menambah utang. Dalam kondisi ini, Danantara tidak dapat berfungsi sebagai penopang likuiditas, karena mandatnya bukan untuk pembiayaan fiskal harian. Inilah dilema struktural yang dihadapi APBN.

Negara Kaya di Atas Kertas, Rakyat Lapar di Lapangan

Paradoks ini dapat dianalogikan secara sederhana: tidak apa-apa tidak makan hari ini, asalkan rekening bertambah. Logika ini mungkin masuk akal dalam dunia investasi pribadi, tetapi berbahaya jika diterapkan dalam pengelolaan negara. Kekayaan negara bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Ketika rakyat menghadapi tekanan biaya hidup, negara dituntut hadir secara nyata melalui APBN. Namun yang terjadi justru sebaliknya, APBN diminta menahan diri demi investasi jangka panjang. Pertanyaannya menjadi sangat mendasar: kekayaan itu untuk apa, jika rakyat tetap lapar?

Badan Pusat Statistik mencatat bahwa tingkat kemiskinan dan kerentanan ekonomi masih menyentuh puluhan juta penduduk. Di saat yang sama, belanja perlindungan sosial kerap menjadi objek pengetatan ketika fiskal tertekan. Kontradiksi ini memperlihatkan jarak antara narasi makroekonomi dan realitas sosial. Kekayaan dalam bentuk aset tidak otomatis menjelma menjadi kesejahteraan. Tanpa mekanisme distribusi yang jelas, kekayaan itu hanya berhenti sebagai angka dalam laporan. Negara pun terjebak dalam ironi permanen.

Fragmentasi Kekuasaan Fiskal

Dengan hadirnya Danantara, kekuasaan fiskal negara mengalami fragmentasi. Di satu sisi, Menteri Keuangan bertanggung jawab menjaga defisit, mengelola utang, dan membiayai belanja publik. Di sisi lain, Danantara mengelola aset dan dividen BUMN dengan logika korporasi dan investasi. Dua entitas ini bergerak dalam semesta yang berbeda, tetapi berbagi risiko yang sama. Ketika investasi berhasil, manfaatnya belum tentu langsung dirasakan APBN. Namun ketika investasi gagal atau BUMN bermasalah, APBN hampir pasti dipanggil untuk menyelamatkan. Fragmentasi ini menciptakan ketimpangan antara tanggung jawab dan manfaat.

Secara teori tata kelola keuangan negara, fragmentasi ini melemahkan prinsip single treasury. Prinsip tersebut menekankan bahwa seluruh penerimaan dan pengeluaran negara seharusnya berada dalam satu kendali fiskal. Ketika prinsip ini dilanggar, koordinasi kebijakan menjadi lebih sulit. Menteri Keuangan memikul beban stabilitas, sementara instrumen pendukungnya berada di luar jangkauan. Ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan desain kekuasaan fiskal. Negara kehilangan kesatuan kendali atas keuangannya sendiri.

Moral Hazard yang Terstruktur

Dalam teori ekonomi publik, moral hazard muncul ketika pengambil keputusan tidak menanggung sepenuhnya konsekuensi dari risikonya. Struktur Danantara membuka ruang bagi moral hazard yang bersifat sistemik. Keuntungan investasi dicatat di luar APBN, sementara risiko kegagalan pada akhirnya tetap menjadi beban negara. Pengelola investasi didorong untuk mengejar imbal hasil tinggi, tetapi tidak merasakan langsung tekanan defisit fiskal. Ini bukan soal niat buruk individu, melainkan desain sistem yang memberi insentif keliru. Dalam situasi seperti ini, moral hazard bukan kemungkinan, melainkan konsekuensi logis.

Sejarah pengelolaan BUMN di Indonesia menunjukkan pola yang berulang, yaitu keuntungan tidak selalu kembali ke negara, tetapi kerugian hampir selalu disosialisasikan. Bailout, penyertaan modal negara, dan restrukturisasi utang menjadi instrumen rutin. Dengan Danantara, pola ini berpotensi direproduksi dalam skala yang lebih besar. Risiko diambil di ruang investasi, sementara dampaknya dirasakan di ruang fiskal. Inilah yang membuat moral hazard Danantara bersifat struktural, bukan insidental.

Politisasi dan Risiko Tata Kelola

Risiko moral hazard semakin besar ketika pengelolaan BUMN dan entitas investasi negara bersinggungan dengan kepentingan politik. Penempatan figur partai atau tim sukses politik dalam struktur pengawasan dan pengelolaan BUMN bukan fenomena baru. Ketika logika politik masuk ke ruang investasi, keputusan ekonomi berpotensi terdistorsi. Proyek dipilih bukan karena kelayakan ekonomi, tetapi karena nilai politisnya. Dalam jangka pendek, ini mungkin menguntungkan secara politik, tetapi dalam jangka panjang, risikonya ditanggung oleh APBN dan rakyat. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci yang sering kali tertinggal.

Laporan berbagai lembaga pemantau tata kelola menunjukkan bahwa politisasi BUMN berkorelasi dengan menurunnya kinerja dan meningkatnya risiko finansial. Ketika posisi strategis diisi berdasarkan kedekatan politik, mekanisme profesionalisme tergerus. Danantara, dengan skala aset yang besar, menghadapi risiko yang sama jika tidak membangun pagar institusional yang kuat. Tanpa pagar tersebut, investasi negara dapat berubah menjadi alat distribusi rente. Publik pun kembali menjadi penanggung terakhir.

APBN sebagai Instrumen Konstitusional

APBN bukan sekadar dokumen keuangan, melainkan instrumen konstitusional untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanatkan Pasal 23 UUD 1945. Setiap rupiah dalam APBN adalah representasi dari hak dan kewajiban negara terhadap warganya. Ketika sumber-sumber pendapatan dialihkan ke luar APBN tanpa mekanisme distribusi yang jelas, fungsi konstitusional ini melemah. Negara menjadi kuat sebagai investor, tetapi melemah sebagai penyedia layanan publik. Ini adalah dilema serius dalam negara demokrasi. Karena dalam demokrasi, kekayaan negara harus tunduk pada kepentingan publik.

Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya menegaskan bahwa keuangan negara harus dikelola secara terbuka dan bertanggung jawab. Prinsip ini sulit dipenuhi jika arus keuangan utama berada di luar APBN. Danantara, meskipun sah secara hukum, tetap harus diuji dari perspektif konstitusional. Apakah ia memperkuat atau justru mengaburkan akuntabilitas keuangan negara. Pertanyaan ini tidak boleh dihindari dalam diskursus publik.

Pelajaran dari Sovereign Wealth Fund Dunia

Banyak negara memiliki sovereign wealth fund yang sukses, seperti Norwegia, Singapura, dan Uni Emirat Arab. Namun satu kesamaan mereka adalah kejelasan hubungan antara dana investasi dan fiskal publik. Keuntungan investasi secara teratur dialirkan kembali untuk menopang anggaran negara atau program kesejahteraan. Sovereign fund dibangun untuk memperkuat fiskal, bukan mengeringkannya. Tanpa mekanisme seperti itu, sovereign fund justru menjadi sumber ketegangan fiskal. Danantara akan diuji bukan oleh besarnya aset, tetapi oleh sejauh mana ia memperkuat APBN.

Norwegian Government Pension Fund Global, misalnya, secara konsisten menyetor hasil investasinya ke anggaran negara untuk membiayai belanja publik. Transparansi dan akuntabilitasnya menjadi standar global. Tanpa meniru secara mentah, prinsip ini memberi pelajaran penting bagi Indonesia. Sovereign wealth fund bukan tujuan, melainkan alat. Jika alat tersebut tidak memperkuat fiskal, maka ia kehilangan legitimasi publik.

Ketergantungan Utang sebagai Efek Samping

Ketika penerimaan negara melemah sementara belanja bersifat kaku, utang menjadi jalan keluar yang paling cepat. Pengalihan dividen BUMN ke Danantara memperbesar ketergantungan ini. Beban bunga meningkat dan ruang fiskal menyempit. Dalam jangka panjang, generasi berikutnya menanggung konsekuensi dari kebijakan hari ini. Ironisnya, utang tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan dasar, sementara keuntungan investasi terakumulasi di luar APBN. Ini adalah ketidakseimbangan antargenerasi yang patut dipertanyakan.

Data APBN menunjukkan bahwa pembayaran bunga utang telah menjadi salah satu pos belanja terbesar negara. Setiap kenaikan utang hari ini mengurangi ruang belanja masa depan. Ketika utang digunakan untuk menutup kekurangan likuiditas akibat pengalihan dividen, kebijakan menjadi semakin problematik. Negara membiayai hari ini dengan beban esok hari. Sementara hasil investasi belum tentu kembali tepat waktu.

Narasi Kekayaan dan Realitas Sosial

Pemerintah kerap mengedepankan narasi bahwa negara semakin kaya karena aset dikelola secara profesional. Namun kekayaan versi laporan keuangan tidak selalu sejalan dengan pengalaman rakyat sehari-hari. Bagi masyarakat, yang dirasakan adalah kualitas layanan publik, stabilitas harga, dan perlindungan sosial. Ketika narasi kekayaan tidak diiringi perbaikan nyata, kepercayaan publik tergerus. Negara terlihat sukses di forum internasional, tetapi kehilangan legitimasi di mata warganya. Di sinilah bahaya utama dari paradoks Danantara.

Survei kepercayaan publik menunjukkan bahwa persepsi terhadap kinerja ekonomi sangat dipengaruhi oleh pengalaman langsung. Ketika harga kebutuhan pokok naik dan layanan publik terbatas, narasi makro kehilangan daya. Kekayaan negara menjadi abstrak dan jauh. Dalam situasi ini, komunikasi kebijakan saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah perubahan nyata dalam distribusi manfaat.

Jalan Tengah yang Diperlukan

Kritik terhadap Danantara bukan berarti menolak investasi jangka panjang. Yang dibutuhkan adalah desain kelembagaan yang lebih seimbang. Mekanisme pembagian hasil investasi ke APBN harus jelas, terukur, dan mengikat. Pengawasan harus transparan dan bebas dari konflik kepentingan politik. Dengan demikian, Danantara dapat menjadi alat pembangunan, bukan sumber masalah fiskal baru. Tanpa koreksi ini, paradoks akan terus berulang.

Negara perlu merumuskan aturan yang memastikan sebagian hasil investasi Danantara secara otomatis mengalir ke APBN. Ini bukan intervensi berlebihan, melainkan pengamanan fiskal. Dengan mekanisme tersebut, investasi dan fiskal dapat berjalan seiring. Negara tidak perlu memilih antara hari ini dan masa depan. Keduanya bisa dikelola secara berimbang.

Negara Kaya yang Tetap Lapar

Pada akhirnya, pertanyaan paling sederhana justru yang paling menentukan. Untuk apa kekayaan negara jika APBN tetap defisit dan rakyat diminta menahan lapar? Untuk siapa investasi jangka panjang jika kebutuhan dasar hari ini terabaikan? Negara tidak hidup dari janji masa depan, tetapi dari kehadiran nyata di masa kini. Jika tidak, kita akan hidup dalam ironi permanen: negara kaya di atas kertas, tetapi miskin di meja makan rakyat.

Paradoks Danantara bukan sekadar polemik kebijakan, melainkan cermin pilihan pembangunan. Apakah negara ingin dikenal sebagai investor besar, atau sebagai pelayan publik yang kuat. Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah fiskal dan keadilan sosial Indonesia ke depan. Tanpa keberanian mengoreksi desain, paradoks ini akan terus diwariskan. Dan rakyat akan terus diminta bersabar, sementara aset terus bertambah.

0 Response to "Paradoks Danantara: APBN Rugi, BUMN Menang"

Posting Komentar