Mengungkap Dilema Suami yang Ditanggung Mertua di Tengah Ekonomi dan Kehormatan

Di tengah dinamika kehidupan modern, pemandangan rumah yang dihuni oleh tiga generasi semakin sering ditemui di berbagai kota besar maupun kecil di Indonesia. Kehadiran orang tua, pasangan pengantin baru, dan mungkin satu atau dua anak kecil menjadi skenario yang awalnya penuh niat baik: menghemat biaya, saling menjaga, dan membangun modal untuk masa depan. Dalam banyak budaya, termasuk Indonesia, hidup bersama orang tua setelah menikah bukanlah hal yang aneh. Namun, di tengah tekanan ekonomi dan pergeseran nilai sosial, skenario ini sering kali berkembang menjadi medan konflik yang kompleks, terutama ketika melibatkan figur suami yang dianggap "terlalu nyaman" dalam posisinya sebagai "penghuni" di rumah mertua.

Cerita biasanya tidak dimulai dengan niat untuk memanfaatkan. Awalnya, ini adalah percakapan penuh kehangatan. "Sudahlah, tinggal sini dulu. Biar irit, kalian bisa nabung," begitu bujuk orang tua, biasanya dari pihak istri. Pasangan muda itu, yang mungkin sedang berjuang dengan gaji pertama yang pas-pasan atau kontrak kerja yang belum pasti, menerima tawaran itu dengan rasa syukur dan sedikit lega. Mereka berpikir, ini hanya sementara. Enam bulan, paling lama setahun. Tapi waktu berlalu, dan "sementara" itu mulai berbau kepermanenan. Koper tidak lagi dibongkar-pasang, melainkan isinya dipindahkan ke lemari. Ruang tamu yang awalnya hanya untuk bersila, kini ditempati meja kerja dan laptop. Dan di sinilah, perlahan-lahan, sebuah pola sering kali muncul: sang istri, dengan karir yang mungkin lebih stabil, tetap berangkat pagi dan pulang petang. Sang suami? Situasinya bisa sangat beragam.

Ada suami yang benar-benar menjalankan peran sebagai stay-at-home dad atau pengusaha rintisan (startup founder) yang bekerja dari rumah. Ia mengasuh anak dengan telaten, mengurus rumah, bahkan mungkin membantu usaha mertua. Dalam kasus seperti ini, tinggal bersama adalah sebuah kolaborasi yang berfungsi baik. Namun, ceritanya menjadi berbeda, dan inilah yang kerap memicu gunjingan dan akhirnya, perselisihan, ketika sang suami tampak tidak memiliki agenda yang jelas. Ia tidak sedang mengasuh anak (karena diasuh neneknya), tidak sedang merintis usaha dengan gigih, dan juga tidak menunjukkan usaha yang nyata untuk mencari pekerjaan formal. Kehidupannya berputar pada rutinitas yang minim tanggung jawab. Ibaratnya, ia menjadikan rumah mertua sebagai "rest area", tetapi lupa untuk kembali ke jalur utama perjuangan hidup berkeluarga. Inilah yang saya sebut sebagai "parkir abadi".

Fenomena ini bukan sekadar gosip tetangga atau bahan obrolan di warung kopi. Ia telah menjadi salah satu sumber ketegangan dalam rumah tangga modern Indonesia, yang ujung-ujungnya berlabuh di ruang sidang pengadilan agama. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan laporan tahunan Mahkamah Agung secara konsisten menempatkan "perselisihan ekonomi" dan "tidak mendapat nafkah" sebagai salah satu penyebab utama gugatan cerai yang diajukan oleh istri. Dalam banyak kasus, ketidakmampuan ekonomi ini berkait kelindan dengan pola hidup "ditanggung mertua" yang sudah berlangsung lama tanpa solusi.

Mengurai Benang Kusut: Antara Tekanan Ekonomi dan Lunturnya Motivasi

Untuk memahami fenomena ini, kita harus melihatnya dari dua sisi yang saling mempengaruhi: faktor eksternal (ekonomi) dan faktor internal (psikologis).

Sisi Ekonomi: Realita yang Memaksa.
Indonesia adalah negara dengan tingkat penetrasi pekerja informal yang sangat tinggi dan upah minimum yang di banyak daerah masih sulit untuk menopang hidup sebuah keluarga kecil secara mandiri, apalagi di kota besar. Biaya DP rumah atau kontrakan yang melambung tinggi menjadi penghalang nyata. Dalam situasi seperti ini, tawaran tinggal bersama orang tua adalah safety net atau jaring pengaman sosial yang paling logis. Masalahnya, jaring pengaman ini bisa berubah menjadi zona nyaman (comfort zone) yang sulit ditinggalkan. Mengapa harus berjuang cari kontrakan dan bayar listrik sendiri jika di rumah mertua semua sudah tersedia? Logika "efisiensi" ini, jika tidak diimbangi dengan visi dan komitmen untuk mandiri, dengan cepat merusak etos perjuangan.

Sisi Psikologis: Hilangnya "Driver" Internal.
Di sinilah persoalan harga diri dan motivasi berperan. Bagi banyak laki-laki, identitasnya masih sangat terikat pada peran sebagai "pencari nafkah". Stigma sosial bahwa laki-laki harus lebih sukses atau setidaknya setara secara finansial dengan istrinya masih kuat. Ketika seorang suami tinggal di rumah mertua dan istrinya yang menjadi tulang punggung, ia bisa mengalami yang disebut sebagai role strain atau ketegangan peran. Ada dua kemungkinan respons terhadap tekanan ini: fight atau flight. Yang fight akan berusaha mencari cara lain untuk berkontribusi (mengasuh anak, mengembangkan skill, membantu usaha keluarga) guna menjaga harga diri dan rasa hormat. Yang flight justru akan masuk ke dalam lingkaran setan defensif: merasa terancam, lalu menarik diri, beralibi, dan akhirnya menjadi pasif. Semakin pasif, semakin ia dicibir. Semakin dicibir, semakin defensif dan pasiflah ia. Inilah yang membuatnya "terlihat" malas dan nyaman, padahal di dalamnya mungkin ada gelombang rasa malu, inferior, dan frustrasi yang tidak terkelola dengan baik.

Mertua: Penolong Tak Terduga atau "Enabler" yang Tidak Disadari?

Pihak ketiga yang paling sering terlupakan dalam analisis fenomena ini adalah mertua, khususnya orang tua dari pihak istri. Peran mereka sering kali ambigu dan krusial. Pada awalnya, mereka adalah savior, penolong yang tulus. Namun, tanpa disadari, pola asuh dan cara membantu mereka dapat memperparah situasi.

Banyak orang tua dari generasi sebelumnya memiliki kecenderungan untuk "memudahkan" hidup anaknya. Dalam budaya kita, memberi adalah bentuk kasih sayang. Ketika melihat menantunya belum bekerja, alih-alih mendorong atau memberikan tekanan halus, mereka justru mengisi celah itu dengan sangat sempurna. Makan selalu tersedia, tagihan listrik dibayar, bahkan uang saku untuk cucu diberikan tanpa diminta. Tanpa disadari, ini menghilangkan sense of urgency atau rasa keterpaksaan yang justru diperlukan untuk memacu seseorang bergerak. Sang suami tidak lagi merasakan "duri" kebutuhan yang mendesak, karena semua duri telah dicabut oleh mertua.

Di sisi lain, tidak jarang muncul hubungan yang tidak sehat. Mertua, terutama ibu mertua, mungkin merasa lebih nyaman mengontrol rumah tangga anaknya ketika menantunya dianggap "tidak setara". Dalam beberapa kasus, sang suami sengaja "dilemahkan" secara psikologis agar tidak memiliki otoritas yang bisa menyaingi posisi orang tua di rumah mereka sendiri. Dinamika ini menciptakan ketergantungan yang sangat sulit diputuskan.

Ketika Istri Memikul Beban Ganda: Dari Lelah Fisik hingga Luka Batin

Di ujung lain dari spektrum ini adalah sang istri. Baginya, tinggal bersama orang tua mungkin awalnya adalah solusi. Tetapi ketika ia melihat pasangannya tidak menunjukkan progres, beban yang ia tanggung berlipat ganda.

Beban Finansial:
Semua tuntutan kebutuhan keluarga, dari susu anak, keperluan pribadi, hingga sumbangan untuk rumah tangga orang tua, seolah menjadi tanggung jawabnya sepenuhnya.

Beban Domestik:
Meski tinggal bersama orang tua, seringkali beban mengurus anak dan suami tetap jatuh di pundaknya sepulang kerja. Ia tetap harus memastikan seragam sekolah bersih, memikirkan menu makan, atau mengingatkan jadwal imunisasi. Ia bekerja seperti single parent, tapi dengan kehadiran seorang suami yang diharapkan bisa membantu.

Beban Emosional dan Sosial:
Inilah yang paling menggerogoti. Ia merasa sendirian dalam perjuangan. Rasa hormatnya kepada suami perlahan luntur. Ia juga harus berhadapan dengan cibiran dari luar ("Kok suaminya di rumah terus?") dan mungkin tekanan halus dari orang tuanya sendiri yang mulai mempertanyakan pilihan menantu mereka. Dalam banyak kesaksian di persidangan, istri menggambarkan perasaan mereka dengan kalimat yang mengharukan: "Saya merasa seperti mesin ATM dan asisten rumah tangga. Saya tidak butuh suami seperti itu." Atau yang lebih pedih: "Dengan atau tanpa dia, saya sudah menjalankan semua peran ini sendiri."

Ketika kelelahan fisik, kekecewaan, dan hilangnya rasa hormat ini mencapai puncaknya, jalan terakhir yang sering dilihat adalah mengajukan gugatan cerai.

Melirik Hukum: Bukan Soal Pekerjaan, Tapi Soal Tanggung Jawab dan Ikhtiar

Dalam perspektif hukum keluarga Indonesia, inti persoalannya bukanlah pada jenis pekerjaan suami atau apakah ia tinggal di rumah mertua. Hukum kita, baik yang tertuang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Pasal 34) maupun Kompilasi Hukum Islam (Pasal 77-80), melihat pada substansi: kewajiban dan tanggung jawab.

Suami adalah kepala keluarga dan wajib melindungi serta menafkahi keluarga. Kata kuncinya adalah "sesuai kemampuannya". Hukum tidak memaksa setiap suami menjadi karyawan kantoran. Ia bisa menjadi wiraswasta, petani, seniman, atau full-time father. Yang dituntut adalah ikhtiar atau usaha yang sungguh-sungguh untuk memenuhi tanggung jawab itu. Jika seorang suami memilih untuk fokus mengasuh anak sementara istri bekerja, itu adalah pembagian peran yang sah asalkan disepakati dan ia menjalankan peran pengasuhan itu dengan baik. Namun, jika seorang suami tinggal di rumah mertua, tidak bekerja, tidak gigih mencari kerja, dan juga tidak menjalankan peran domestik atau pengasuhan dengan maksimal, maka ia dianggap melalaikan kewajiban.

Dalam persidangan, hakim akan menyelidiki: Apakah suami berikhtiar? Apakah ketidakbekerjaannya disebabkan oleh keadaan memaksa (PHK massal, sakit) atau oleh kemalasan? Apakah kontribusinya dalam rumah tangga (non-finansial) seimbang dengan beban yang ditanggung istri? Perselisihan yang terus-menerus akibat kelalaian ini dapat menjadi alasan yang sah untuk perceraian, karena tujuan perkawinan, untuk membentuk keluarga yang tentram (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (warrahmah), dianggap sudah tidak dapat diwujudkan.

Mencari Jalan Keluar: Dari Zona Nyaman Menuju Kemandirian yang Bertanggung Jawab

Lalu, adakah jalan keluar dari pola "parkir abadi" ini? Tentu ada, tetapi membutuhkan kesadaran dan keberanian dari semua pihak.

Untuk Pasangan Suami-Istri: Komunikasi dan Kesepakatan yang Jelas.
Buat Timeline yang Realistis: Sejak awal tinggal bersama, tetapkan target waktu yang disepakati bersama. "Kita akan tinggal di sini maksimal dua tahun. Dalam dua tahun itu, tujuan kita adalah A, B, dan C untuk menuju mandiri."
Redefinisi Kontribusi: Jika suami belum bekerja dengan penghasilan tetap, tentukan dengan jelas kontribusi non-finansial apa yang menjadi tanggung jawabnya. Apakah mengelola semua urusan rumah? Mengasuh anak penuh waktu? Mengembangkan skill dengan kursus online? Jangan biarkan kekosongan aktivitas.
* Cek Harga Diri Secara Berkala: Suami perlu jujur bertanya pada diri sendiri, "Apakah saya masih berjuang, atau sudah menyerah?" Istri perlu menyampaikan perasaannya tanpa menyerang, lebih pada bentuk pengungkapan beban: "Aku lelah bekerja sendirian. Aku butuh kita membuat rencana bersama."

Untuk Orang Tua/Mertua: Bantu, Jangan "Memudahkan" secara Berlebihan.
Beri Ruang dan Otoritas: Hormati keputusan dan otoritas pasangan muda tersebut atas kehidupan mereka sendiri, meski mereka tinggal di bawah atap Anda.
Bantu dengan Cara yang Memberdayakan: Alih-alih langsung memberi uang, mungkin bantu mereka dengan modal usaha, atau menjaga cucu di jam-jam tertentu agar mereka bisa mengikuti pelatihan kerja. Tunjukkan bahwa bantuan Anda bertujuan untuk mengantarkan mereka pada kemandirian, bukan ketergantungan.
* Komunikasikan Ekspektasi: Jika ada harapan agar menantu membantu usaha keluarga, sampaikan dengan jelas dan profesional, layaknya memberi tugas pada rekan kerja.

Perspektif Sosial yang Lebih Luas: Menghapus Stigma dan Membangun Empati.
Kita perlu menggeser pandangan bahwa nilai seorang laki-laki hanya dari gajinya. Kontribusi dalam pengasuhan dan rumah tangga adalah kerja yang bernilai tinggi. Di sisi lain, kita juga perlu memiliki keberanian untuk menyebut kelalaian dan pengabaian tanggung jawab, apapun bentuknya, sebagai sikap yang tidak dapat diterima, tanpa terjebak pada stereotip gender.

Penutup: Keluarga sebagai Tempat Bertumbuh, Bukan Hanya Berteduh

Tinggal bersama orang tua setelah menikah bukanlah dosa atau aib. Dalam konteks ekonomi Indonesia, ia sering kali merupakan strategi yang rasional dan penuh empati. Namun, rumah orang tua harus tetap menjadi "rest area", tempat untuk melepas lelah, mengumpulkan tenaga, dan merencanakan perjalanan selanjutnya. Bukan "parkir abadi" di mana mesin dimatikan dan kemudi dilupakan.

Fenomena "suami ditanggung mertua" yang bermasalah pada hakikatnya adalah cermin dari hilangnya keseimbangan antara fleksibilitas dan tanggung jawab. Peran boleh bergeser, beradaptasi, dan dinegosiasikan ulang sesuai zaman. Tetapi inti dari komitmen pernikahan, yakni untuk saling menopang, berjuang bersama, dan saling menghormati, tidak boleh ikut tergeser.

Keluarga, pada akhirnya, adalah tempat di mana setiap anggotanya seharusnya saling mendorong untuk bertumbuh, menjadi versi diri yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab. Ketika salah satu pihak memilih untuk berhenti bertumbuh dan hanya ingin terus berteduh, maka fondasi keluarga itu sendiri yang mulai retak. Maka, marilah kita membangun rumah tangga dengan kesadaran penuh: bahwa cinta memerlukan keberanian bukan hanya untuk bersama, tetapi juga untuk bersama-sama berjuang dan bertanggung jawab atas jalan yang telah dipilih.

0 Response to "Mengungkap Dilema Suami yang Ditanggung Mertua di Tengah Ekonomi dan Kehormatan"

Posting Komentar