Pada akhir tahun 2025, perhatian publik tertuju pada Pulau Sumatra—khususnya di provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hujan dengan intensitas tinggi yang turun selama beberapa hari memicu banjir bandang, galodo, dan tanah longsor di ketiga provinsi tersebut. Sampai tanggal 12 Desember, BNPB mencatat lebih dari 1.100 orang tewas dan ratusan ribu warga terpaksa mengungsi. Angka-angka ini bukan sekadar data statistik, melainkan nyawa manusia yang membutuhkan perhatian serius dan respons cepat.
Kerusakan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan jaringan internet juga membuat akses menuju wilayah terdampak menjadi sulit. Distribusi logistik terganggu karena jalur darat terputus, sementara koordinasi tim SAR maupun relawan juga mengalami hambatan. Berbagai tantangan ini memperburuk situasi, khususnya bagi korban yang masih menunggu bantuan di lokasi-lokasi yang sulit dijangkau. Pertanyaannya: mengapa tragedi bencana seperti ini terus berulang?
Risiko yang Diproduksi: Deforestasi dan Ekstraktivisme
Untuk memahami penyebab bencana yang terjadi di Pulau Sumatra, kita perlu melihat akar masalahnya. Apakah hanya disebabkan oleh faktor alam? Atau ada faktor struktural yang lebih dalam? Dalam konteks ini, konsep masyarakat risiko yang dikemukakan oleh Ulrich Beck (2015) bisa menjadi panduan. Ia menjelaskan bahwa dalam era modernitas, banyak bencana tidak muncul dari kejadian alamiah, tetapi dari risiko yang lahir dari pilihan ekonomi, politik, dan perkembangan teknologi. Risiko ini muncul ketika modernitas menciptakan kerentanan baru yang tidak mampu dikendalikan oleh institusi yang menghasilkannya.
Di Pulau Sumatra, kepentingan ekonomi dan keputusan politik telah meningkatkan kerentanan ekologis. Logika pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi telah mendorong deforestasi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Data dari WALHI menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, tidak kurang dari 1,4 juta hektare hutan di ketiga provinsi tersebut hilang akibat perluasan konsesi tambang, perkebunan sawit, energi, dan pembangunan PLTA.
Selain itu, deforestasi juga dipengaruhi oleh kelonggaran perizinan dari pemerintah. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan bahwa selama periode 2017–2022, pemerintah melepas kawasan hutan untuk survei dan eksplorasi tambang seluas 197.891,69 hektare di Sumatera Utara; 67.026,68 hektare di Aceh; dan 4.720,33 hektare di Sumatera Barat.
Hutan di ketiga provinsi tersebut juga beralih menjadi perkebunan sawit. Pada sekitar tahun 1990, wilayah tersebut masih ditutupi hutan heterogen seluas 9,5 juta hektare. Namun, dengan laju deforestasi yang masif, lebih dari 1 juta hektare hutan hilang, sementara konsesi kelapa sawit melonjak drastis dari kurang dari 1 juta hektare menjadi lebih dari 3,3 juta hektare.
Akibatnya, kapasitas ekologis wilayah tersebut menurun. Air hujan berintensitas tinggi yang seharusnya dapat diserap oleh hutan heterogen, tidak lagi dapat berjalan secara optimal. Akhirnya, hilangnya hutan heterogen merusak stabilitas Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga kehilangan fungsi sebagai penyangga alami yang mengatur aliran air dari hulu ke hilir.
Menghentikan Produksi Risiko
Bencana yang saat ini terjadi di Sumatra bukan sekadar kejadian alam. Terjadinya banjir bandang, galodo, dan tanah longsor juga merupakan konsekuensi dari cara kita—terutama negara—dalam mengelola hutan, tambang, dan perkebunan yang memicu berbagai risiko. Karena itu, negara memiliki peran penting untuk menghentikan produksi risiko ini.
Pertama, kebijakan aspek lingkungan dan tata ruang harus diperbaiki. Setiap pembangunan harus diuji risiko jangka panjangnya, bukan sekadar mengejar keuntungan ekonomi. Prinsip independensi dan transparansi harus dikedepankan, sebaliknya intervensi kepentingan politik atau korporasi harus dijauhkan.
Kedua, praktik pemindahan risiko kepada masyarakat kecil dan rentan perlu dihentikan lewat political will yang tegas dari negara. Selama ini, keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam dominan dinikmati elite, sementara masyarakat sekitar, alih-alih hidup sejahtera, justru berhadapan dengan risiko ekologis—banjir, longsor, kebakaran hutan, hingga pencemaran air.
Negara harus mengadopsi prinsip keadilan ekologis dengan memastikan bahwa mereka yang menciptakan risiko juga menanggung biaya pemulihannya—sejalan dengan polluter pays principle. Adanya penegakan hukum yang nyata: sanksi finansial, pencabutan izin, dan hukuman pidana bagi korporasi yang melanggar menjadi basis untuk menerapkan political will itu. Sejalan dengan semangat “Laudato Si” Paus Fransiskus bahwa krisis ekologis tidak boleh kembali dibebankan kepada kelompok miskin.
Ketiga, orientasi pembangunan yang selama ini berorientasi pertumbuhan cepat, harus diubah menjadi pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan ekologis. Sebab, pengabaian daya dukung sosial dan lingkungan oleh pembangunan berdampak pada membesarnya risiko di masa depan. Adopsi terhadap prinsip-prinsip keberlanjutan itu, sekaligus jalan untuk mengurangi bahkan menghentikan risiko pada sumbernya.
Pada akhirnya, dengan berbagai langkah itu, harapannya negara mampu mengurangi bahkan menghentikan risiko di era modernitas—termasuk bencana yang ada di Sumatra atau wilayah lainnya. Lebih jauh, tidak hanya dibutuhkan upaya teknis, melainkan perubahan paradigma: dari pembangunan yang mengejar keuntungan jangka pendek menuju pembangunan yang melindungi kehidupan, ekosistem, dan martabat manusia dalam jangka panjang.
0 Response to "Mengungkap Akar Bencana Sumatra"
Posting Komentar