Dinamika Komunikasi Budaya di Pesisir dan Pegunungan Cirebon

Dinamika Komunikasi Budaya di Pesisir dan Pegunungan Cirebon

Perbedaan Budaya Komunikasi Masyarakat Pesisir dan Pegunungan di Jawa Barat

Dalam era yang semakin terbuka, interaksi antar budaya di Jawa Barat semakin intensif. Hal ini membuat pentingnya memahami dinamika budaya komunikasi masyarakat pesisir Cirebon dan masyarakat pegunungan. Kedua wilayah ini memiliki perbedaan yang signifikan dalam cara berkomunikasi, yang dipengaruhi oleh kondisi geografis, sejarah, dan nilai-nilai sosial lokal.

Perubahan sosial yang cepat sering kali mengakibatkan pergeseran sikap dan kebingungan dalam batas-batas budaya. Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman, stereotipe, atau bahkan konflik kecil yang mengganggu harmoni masyarakat. Oleh karena itu, memahami perbedaan budaya komunikasi menjadi sangat penting.

Budaya komunikasi di Indonesia sangat beragam. Banyak faktor yang memengaruhinya, seperti keragaman suku bangsa, bahasa, adat istiadat, serta kondisi sosial-kultural lokal. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa budaya komunikasi di Indonesia sangat kompleks dan berlapis.

Penelitian “Pola Komunikasi Masyarakat Adat” oleh Ari Wibowo (2019) menunjukkan bahwa komunikasi dalam upacara adat perkawinan suku Rejang di Sumatera melibatkan komunikasi verbal dan non-verbal yang kompleks. Penelitian lain seperti “Komunikasi Antar Budaya Pada Perantau dengan Masyarakat Lokal di Garut” oleh Zikri Fachrul Nurhadi dkk. (2022) menunjukkan bahwa interaksi antar perantau dan masyarakat lokal di Garut umumnya bersifat dua arah dengan toleransi budaya, meskipun masih ada hambatan seperti perbedaan bahasa dan norma budaya.

Nilai-nilai budaya seperti kolektivisme juga memengaruhi cara masyarakat berkomunikasi dan membuat keputusan. Penelitian “Pengaruh Nilai Budaya Dalam Proses Pengambilan Keputusan Komunikasi CSR di Indonesia” oleh Miftah Faridl Widhagdha dkk. (2024) menunjukkan bahwa masyarakat di berbagai wilayah Indonesia memiliki semangat kolektivisme yang tinggi, tetapi setiap daerah memiliki karakteristik mikro sendiri dalam proses komunikasi dan keputusan.

Budaya komunikasi di masyarakat pesisir dan pegunungan memiliki perbedaan yang jelas. Perbedaan ini tidak hanya terlihat pada nilai-nilai sosial dan sistem kehidupan sehari-hari, tetapi juga pada cara berpikir, bersikap, dan gaya berkomunikasi antarwarga.

Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh di wilayah pesisir Cirebon, saya merasakan keunikan budaya komunikasi yang berkembang di lingkungan tempat saya tinggal. Karakter masyarakat pesisir yang terbiasa bekerja keras melawan ombak, panas terik, dan angin laut tampaknya membentuk watak yang tegas, terbuka, dan apa adanya. Hal ini tercermin dalam cara mereka berbicara dan berinteraksi.

Bahasa yang digunakan masyarakat pesisir Cirebon sering kali terdengar keras, nada suaranya lantang, bahkan terkadang seolah-olah sedang menantang lawan bicaranya. Bagi orang luar, gaya komunikasi semacam itu mungkin terkesan kasar, kaku, atau bahkan seperti bertengkar. Namun, bagi masyarakat setempat, gaya berbicara seperti itu justru dianggap wajar dan alami, bahkan menjadi bentuk keakraban dan kejujuran dalam berkomunikasi. Mereka berbicara dengan lugas tanpa basa-basi, karena bagi orang pesisir, kejujuran lebih utama daripada kesopanan yang bertele-tele.

Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan masyarakat di wilayah pegunungan seperti Kabupaten Kuningan atau Majalengka. Masyarakat di daerah pegunungan cenderung memiliki gaya bicara yang lebih lembut, ritme suara yang tenang, dan ekspresi yang lebih terkendali. Kondisi alam yang sejuk dan suasana sosial yang relatif tenang tampaknya turut membentuk karakter masyarakatnya menjadi lebih halus dalam berbahasa dan berhati-hati dalam bertutur. Komunikasi mereka sarat dengan kesopanan dan kehati-hatian dalam memilih kata.

Perbedaan ini juga dapat ditemukan pada variasi bahasa Sunda yang digunakan di beberapa wilayah Cirebon. Konon, bahasa Sunda yang dituturkan oleh masyarakat Cirebon bagian utara terdengar lebih “kasar” dibandingkan dengan dialek Sunda yang digunakan oleh masyarakat di Kuningan, Majalengka, Bandung, atau Cianjur. Perbedaan tingkat kehalusan ini tidak semata-mata karena perbedaan kosakata, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan sejarah interaksi antarbudaya.

Cirebon sebagai daerah pesisir sejak lama menjadi titik pertemuan berbagai kebudayaan –Sunda, Jawa, Arab, Tionghoa, dan bahkan Eropa– sehingga bahasa dan budaya komunikasinya pun mengalami pembauran yang unik dan dinamis.

Perbedaan kultur komunikasi tersebut sejalan dengan Teori Dimensi Budaya (Cultural Dimensions Theory) yang dicetuskan oleh Geert Hofstede (1980). Pada tahun 1970-an, Geert Hofstede melakukan studi besar-besaran terhadap lebih dari 100.000 karyawan di lebih dari 50 negara. Ia menemukan bahwa perbedaan budaya nasional berpengaruh besar terhadap gaya komunikasi, pengambilan keputusan, dan hubungan kerja.

Dari hasil penelitiannya, Hofstede menyusun model dimensi budaya untuk menjelaskan bagaimana nilai-nilai budaya kolektif memengaruhi perilaku individu, termasuk cara berkomunikasi. Asumsi dasar teori ini antara lain: Budaya adalah sistem nilai kolektif yang membedakan satu kelompok masyarakat dari kelompok lainnya; Nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat membentuk cara berpikir, merasakan, dan bertindak, individu, termasuk dalam berkomunikasi; Gaya komunikasi seseorang bukan hanya hasil preferensi pribadi, tetapi refleksi dari nilai-nilai budaya tempat ia dibesarkan; dan Perbedaan nilai budaya dapat menyebabkan perbedaan makna, interpretasi pesan, serta potensi kesalahpahaman dalam komunikasi antarbudaya.

Relevansi teori Hofstede ini juga dalam konteks Indonesia, banyak digunakan untuk memahami tentang budaya komunikasi, perilaku organisasi, pendidikan, perbedaan gaya komunikasi antar komunitas, manajemen multikultural, cara masyarakat merespon perubahan sosial, dan pola hubungan antara pimpinan dan masyarakat.

Jadi, perbedaan budaya komunikasi antara masyarakat pesisir dan pegunungan menunjukkan bahwa cara manusia berbicara, bersikap, dan mengekspresikan diri sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial, geografis, dan historis tempat mereka tumbuh.

Masyarakat pesisir, seperti di wilayah Cirebon, cenderung berkomunikasi secara lugas, keras, dan terbuka sebagai cerminan karakter hidup yang keras dan dinamis; sebaliknya, masyarakat pegunungan seperti di Kuningan atau Majalengka menunjukkan komunikasi yang lebih lembut, hati-hati, dan penuh kesopanan, selaras dengan lingkungan mereka yang sejuk dan tenang.

Fenomena tersebut sejalan dengan Teori Dimensi Budaya Hofstede yang menegaskan bahwa nilai-nilai budaya membentuk pola komunikasi, perilaku, hingga cara memahami pesan. Dengan memahami perbedaan ini, masyarakat dapat mengurangi kesalahpahaman antarbudaya dan meningkatkan keharmonisan dalam interaksi sosial.

0 Response to "Dinamika Komunikasi Budaya di Pesisir dan Pegunungan Cirebon"

Posting Komentar